Sejarah Asal Seruan Sapi So (Sumba Ongole) Dan Keunggulannya
Sapi Lokal Yang Tahan Terhadap Cuaca Ekstrim Dan Pakan Yang Kurang Berkualitas, Sapi Sumba Ongole (SO)
Asal Usul Sapi SO. Sejarah sapi jenis ongole masuk ke Indonesia berawal dari India yang dimasukkan oleh Pemerintah Hindia Belanda ke Pulau Sumba pada awal kala ke 20 atau sekitar tahun 1906-1907. Pemerintah Hindia Belanda pada awalnya memasukkan empat jenis sapi ke Pulau Sumba, yaitu sapi Bali, sapi Madura, sapi Jawa dan sapi Ongole. Dari empat jenis sapi tersebut, ternyata hanya sapi jenis Ongole yang bisa menyesuaikan diri dengan baik dan berkembang dengan cepat walaupun di Pulau Sumba ekspresi dominan kemarau-nya cukup lama. Kemudian sekitar tujuh tahun kemudian, pada tahun 1914, Pemerintah Hindia Belanda memutuskan bahwa Pulau Sumba sebagai pusat pembibitan sapi Ongole murni. Dipasaran juga sering disebut sebagai Sapi Lokal atau Sapi Jawa atau Sapi Putih atau Rote Ongole atau Sumbawa Ongole. Sapi ini hasil persilangan antara pejantan sapi Sumba Ongole (SO) dengan sapi betina Jawa yang berwarna putih. Sapi Ongole (Bos Indicus) bahu-membahu berasal dari India, termasuk tipe sapi pekerja dan pedaging yang disebarkan di Indonesia sebagai sapi Sumba Ongole (SO).Sapi ongole (Bos indicus) memerankan tugas yang penting dalam sejarah sapi di Indonesia. Sapi jantan Ongole dibawa dari tempat Madras, India ke pulau Jawa, Madura dan Sumba. Di Sumba dikenal dengan sapi Sumba Ongole. Sapi Sumba Ongole (SO) dibawa ke Jawa dan dikawinkan dengan sapi asal jawa dan kemudian dikenal dengan peranakan ongole (PO) Sapi ongole dan PO baik untuk mengolah lahan alasannya yaitu tubuh besar, kuat, jinak dan bertemperamen tenang, tahan terhadap panas, dan bisa menyesuaikan diri dengan kondisi yang minim.
Secara fisik, sapi Sumba Ongole gampang sekali dikenali, alasannya yaitu mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
Alam yang keras di Sumba sebagai habitat orisinil sapi SO mengakibatkan sapi ini menjadi sapi yang tahan banting, tahan dengan cuaca ekstrim dan juga pakan yang buruk (pakan dengan gizi dan kualitas buruk). Keunggulan ini mengakibatkan sapi SO mulai diperhitungkan oleh para pengusaha penggemukkan sapi untuk digemukkan dengan cara yang lebih intensif dalam sebuah feedlot penggemukan sapi. Salah satu laba memelihara sapi SO yang kurus yaitu kompensatory gain nya yang sangat tinggi.
- Warna kulit putih, disekitar kepala sedikit lebih gelap dan cenderung abu-abu
- Postur tubuh agak panjang, leher sedikit pendek dan kaki terlihat panjang
- Memiliki punuk besar dan bergelambir (lipatan-lipatan kulit yang terdapat dibawah leher dan perut)
- Punuk tumbuh lurus dan berkembang baik pada ternak jantan.
- Telinga panjang dan menggantung
- Kepala relatif pendek dengan profil melengkung, mata besar dan tenang
- Kulit disekitar kelopak mata berwarna hitam
- Tanduk sapi betina lebih panjang dibandingkan sapi jantan.
- Tinggi sapi jantan berkisar 150 cm dengan berat tubuh mencapai 600 kg. Sedangkan sapi betina mempunyai tinggi 135 cm dengan berat tubuh 450 kg.
- Pertambahan bobot rata-rata berkisar 0.85 – 0.95 kg/hari dengan kualitas karkas 45-58%.
Sapi-sapi ongole asal India dimasukkan kali pertama oleh Pemerintah Hindia Belanda ke Pulau Sumba, pada awal kala ke 20, sekitar tahun 1906-1907. Dari empat jenis sapi, yang dimasukkan ke Sumba dikala itu, yaitu sapi Bali, sapi Madura, sapi Jawa, dan sapi Ongole, ternyata hanya sapi Ongole yang bisa menyesuaikan diri dengan baik dan berkembang dengan cepat, di pulau yang panjang ekspresi dominan kemaraunya ini. Sekitar tujuh atau delapan tahun kemudian, pada tahun 1914, Pemerintah Hindia Belanda memutuskan Pulau Sumba sebagai pusat pembibitan sapi Ongole murni. Upaya ini disertai dengan memasukkan 42 ekor sapi ongole pejantan, berikut 496 ekor sapi ongole betina serta 70 ekor anakan ongole.
Ongole Jantan
Dalam laporan tahunan Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur (1989) tercatat, pada tahun 1915, Pulau Sumba sudah mengekspor enam ekor bibit sapi ongole pejantan. Empat tahun kemudian, pada 1919, ekspor sapi ongole dari Pulau Sumba tercatat sebanyak 254 ekor, dan pada tahun 1929, meningkat mencapai 828 ekor. Sapi-sapi asal Sumba ini pun mempunyai merek dagang, sapi Sumba Ongole (SO). Perkembangan selanjutnya, Sumba kembali ditetapkan sebagai pusat pembibitan sapi ongole murni di masa pemerintahan Presiden Soeharto, melalui Undang- Undang Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor 6 Tahun 1967. Sapi ongole memang menjadi ciri khas Pulau Sumba, terutama Sumba Timur. Selain sapi, kekhasan lain Sumba Timur yaitu padang rerumputan (sabana). Bentangan sabana kering tampak bagaikan lautan menguning. Kemarau panjang mencapai puncaknya di bulan Oktober. Kondisi alam yang menantang ini menjadi rutinitas bagi sebagian penduduk di Pulau Sumba, yang mengandalkan penghidupan mereka sebagai penggembala.
Memasuki wilayah kecamatan Pandawai, Sumba Timur, contohnya terlihat kawanan sapi berkeliaran di hamparan rerumputan kering. Sumba Timur memang berpotensi membuatkan peternakan secara ekstensif. Tidak hanya sapi, tetapi juga kuda dan kerbau, atau ternak-ternak kecil lainnya. Statistik Pertanian Sumba Timur (2003) menunjukkan, jumlah ternak sapi potong, kerbau, dan kuda di kabupaten ini mencapai 100.600 ekor. Jumlah ternak di satu kabupaten ini jauh lebih banyak dibanding jumlah ternak di Provinsi Kalimantan Timur (73.200 ekor) atau Papua (74.000 ekor). Kabupaten seluas 7.000,50 kilometer persegi ini terbagi menjadi 15 kecamatan, dan rata-rata di setiap kecamatan terdapat lebih dari 2.000 ekor ternak besar, baik sapi, kerbau, ataupun kuda. Hingga tahun 2003, di Kecamatan Pandawai tercatat terdapat lebih dari 6.000 ekor sapi, sedangkan di kecamatan Panguda Lodu menjadi kecamatan yang mempunyai ternak kuda dan kerbau terbanyak, masing-masing 6.095 ekor kuda dan 5.126 ekor kerbau.
Para pengusaha penggemukan menentukan sapi SO untuk penggemukan alasannya yaitu mempunyai beberapa laba seperti: sapi SO gampang menyesuaikan diri dengan pakan penggemukan dengan sistem koloni, sapi dalam koloni gres dalam pen akan cepat mengenal mitra dalam satu koloni, tidak banyak terjadi perkelahian antar sapi (hanya 1-2 hari). Tahap awal penggemukan dimulai dari penimbangan masing masing sapi untuk menentukan grade menurut berat badan, pen, dan sasaran pakan.
Pemberian multi vitamin dan obat cacing sangat membantu meningkatkan kecernaan pakan yang dikonversi menjadi daging. Fase pakan dibedakan menjadi 3 yaitu starter (DOF 1 – 10), grower (11-60 hari), dan Finisher (60 hari – waktu jual). Persentase hijauan tinggi pada dikala starter dan akan terus dikurangi hingga finisher/waktu jual, pakan konsentrat diberikan sebaliknya yaitu dari sedikit dan meningkat secara bertahap.
Pada awal 2008, sapi yang dikelola di feedlot mempunyai rangka yang panjang panjang dan bobot tubuh awal 400 – 600 kg (masuk dalam kelas Heavy – ekstra Heavy). Kecilnya angka penyusutan alasannya yaitu transportasi (< 2%) dan average feed intake yang selalu meningkat dari hari ke hari (2,3 % - 2,6 % dry matter intake) menghasilkan perfoma yang luar biasa. Dalam jangka waktu pemeliharaan (Days On Feed) 90 hari SO jantan, akan didapatkan kenaikan berat tubuh 1.6 – 2.0 kg / ekor/ hari, dan rata rata karkas yang dihasilkan di atas 52.5%. Para jagal dan penjual daging sangat menyukai hasil panen penggemukan SO alasannya yaitu selain % karkas tinggi juga tekstur daging yang padat, sedikit atau tanpa lemak dan kematangan daging (berwarna merah yang sangat pas untuk produksi bakso. Pada 2008 harga sapi SO jantan masih berkisar Rp. 22.500 – Rp. 23.000 dan indukan (cow) Rp. 18.000 – Rp. 19.000 /kg berat tubuh hidup. Pada dikala itu harga karkas masih sekitar Rp. 45.000,00, sehingga apabila sapi berat 400 kg (400 X Rp. 22.500 = Rp.9.000.000,00) dipotong mendapat 53% karkas (212 kg) seharga Rp. 9.540.000,00 artinya ada laba Rp. 540.000,00 / ekor bagi jagal.
Akhir simpulan ini, sapi bakalan yang tiba dari Sumba relative lebih kecil kecil (250 kg) dan kondisi tubuh yang kurang ideal. Sapi dengan berat 250 – 300 kg ini termasuk dalam kategori light – ekstra light, membutuhkan waktu pemeliharaan yang lebih usang yaitu di atas 120 hari. Kenaikan berat tubuh yang dihasilkan lebih rendah hanya sekitar 1.0 – 1.1 kg/ekor/hari, begitu juga karkas yang didapatkan hanya 50% saja. Makin rendahnya grade sapi bakalan yang masuk ke sangkar penggemukan mengindikasikan telah terkurasnya sapi bakalan dengan bobot besar, meningkatnya insiden inbreeding, atau populasi ternak tidak diimbangangi jumlah pakan yang tersedia terlebih pada ekspresi dominan kemarau.
Semakin menurunnya kualitas sapi SO dan makin tingginya kebutuhan sapi lokal untuk bakalan penggemukan, menuntut pengusaha ternak untuk mengembangbiakan sapi SO dengan system intensif melalui perbaikan managemen pemeliharaan, perkawinan, pakan dan budidaya. Pengembangbiakan sapi SO secara intensif ditujukan untuk pemurnian dan masih memakai perkawinan alami. Sapi SO mempunyai perfoma reproduksi yang sangat baik, hasil budidaya yang kami dapatkan kebuntingan > 90 % dengan rataan perkawinan 1-2 kali, mas produktif hingga 10 tahun, jarak antar kelahiran 12 – 13 bulan. Dalam perkembangan transfer embrio, sapi SO berreaksi sangat memuaskan terhadap superovulasi pada produksi embrio menyerupai yang pernah kami lakukan menghasilkan 20 buah embrio fertile kualitas excellent. Perfoma keturunan yang dihasilkan mencakup pertumbuhan yang lebih cepat, pada keturunan betina akan mencapai masa pubertas pada umur 13 bulan dengan berat tubuh 280 kg, dan berat tubuh indukan bisa mencapai 500kg. Pada beberapa pengamatan pemeliharaan, sapi SO tingkat reproduksinya sangat buruk di tempat yang masbodoh di dataran tinggi.
Pemberian pakan untuk breeding tidak membutuhkan pakan dengan kualitas terbaik. Hal ini selain untuk memperkecil biaya untuk produksi pedet juga alasannya yaitu sapi SO mempunyai kecernaan yang baik terhadap pakan yang diberikan. Pakan untuk pemeliharaan sapi breeding yang kami berikan mencakup konsentrat 1- 3 kg ( protein bernafsu 10-11 %, TDN 65% ) dan rumput lapangan atau jerami fermentasi dengan sedikit supplement vitamin E dan Selenium sudah sangat mencukupi.
Dirangkum dari banyak sekali sumber online